Mahasiswa
merupakan bagian integral dari perguruan tinggi yang dikenal sebagai simbol
intelektualitas.. P
emikiran kritis, demokratis,
dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara
mahasiswa kerap kali mempresentasikan dan mengangkat realita sosial yang
terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan
sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri. Gerakan dan
partisipasi mahasiswa juga pada hakikatnya adalah gerakan intelektual karena
intelektualitas merupakan ciri khas yang inheren (melekat/menyatu) dalam diri
mahasiswa sebagai kelas menengah terdidik. Oleh karena itu pergerakan mahasiswa
dituntut untuk mampu menunjukkan kadar
intelektualnya. Gerakan mahasiswa harus menjadi
gerakan ilmiah yang dibangun diatas basis rasionalitas yang tangguh. Gerakan mahasiswa
bukanlah gerakan emosional yang dibangun diatas romantisme sejarah masa lalu
sekaligus sarana penyaluran agresi gejolak muda. Partisipasi mahasiswa
dalam gerakan merupakan respon spontan atas situasisocial yang tidak sehat,
bukan atas ideologi tertentu, melainkan atas nilai-nilai ideal. Gerakan mahasiswa bersifat
independen dari kelompok kepentingan tertentu,tetapi tidak menutup kemungkinan
ada langkah bersama . ini bisa terjadi lantaran sifat gerakan mahasiswa itu
sendiri yang merupakan reartikulator aspirasi rakyat dan gerakan moral. Dalam perjuangannya gerakan mahasiswa hari ini
dituntut untuk mampu mengembangkan jejaring dengan elemen manapun sebagai
bagian dari membangun gerakan yang massif untuk kepentingan masyarakat.
Peran dan Partisipasi Mahasiswa
Dalam Era Orde Baru
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968
hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
meski hal ini dibarengi dengan praktek korupsi yang merajalela di negara ini
kala itu. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar. Hampir selama 32 tahun gerakan mahasiswa berusaha dibungkam
oleh rezim berkuasa, yaitu rezim orde baru atau yang biasa dikenal masa
demokrasi pancasila. Rezim orde baru melarang mahasiswa tampil dalam panggung
politik baik kampus maupun nasional. Sehingga pada saat itu menimbulkan banyak
gejolak dan perlawanan terhadap keputusan tersebut karena dianggap merugikan.
Pada tahun 1998, gerakan mahasiswa yang berusaha dibelenggu oleh Soeharto
berusaha melakukan perlawanan. Kata perlawanan, menjadi tema sentral gerakan
mahasiswa saat itu. Sehingga banyak elemen-elemen mahasiswa yang turun ke jalan
dan berusaha menjatuhkan Soeharto sang penguasa diktaktor saat itu. Dan kita
semua sudah tahu hasilnya bahwa Soeharto jatuh dan muncullah orde reformasi.
Awal permulaan pada masa pemerintahan
Orde Baru tahun 1966 ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi
dan penegakan hukum yang lebih baik setelah rakyat bersama mahasiswa dan
pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang kesewenang-wenangan PKI.
Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan
menegakan hukum dengan semboyan “kembali
ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”. Suasana harmonis tersebut ternyata
tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969,
tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara, maka dari sinilah
mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan
meraih kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada
tahun 1970 ternyata baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha
penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup
lama. Masa pemerintahan yang begitu panjang menjadi arena membungkam demokrasi
dan menenggelamkan partisipasi masyarakat luas dalam hampir semua sektor
kehidupan, sampai untuk membangun gedung-gedung SD di seluruh Indonesia harus
lewat Inpres (instruksi presiden). Maka dapat disaksikan menjelang akhir
kekuasaan Orde Baru, ketika terjadi krisis moneter; ekonomi yang dibangun
dengan stabilitas politik dan keamanan itu rontok ibarat bangunan tanpa pondasi
yang baru dilanda gempa bumi, rata dengan tanah.
Tahun 1970-1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974,
adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan
militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer. Sebelum
gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an,
sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi
terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
o
Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
o
Gerakan
menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM),
aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan
pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan
"Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi pengecaman
terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang
lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan
membentuk Komite Anti Korupsi yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi
kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai
dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai kebobrokan pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim
Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah
melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan
memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat
antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang
yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Muncul berbagai
pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa
terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi
rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya
Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Kemudian pada tahun 1974 terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari
(MALARI), yaitu unjukrasa besar-besaran menentang kedatangan perdana menteri
jepang, Tanaka. Mahasiswa menilai bahwa pengaruh jepang dibidang ekonomi perlu
dibatasi, karena bergantung berlebih-lebihan terhadap investasi asing
justru akan merusak ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Begitu pula pada
tahun 1978, juga mempunyai makna tersendiri. Dimana saat itu pemerintah begitu
khawatir dengan potensi kritik mahasiswa. Gerakan mahasiswa saat itu menuntut
Suharto untuk mundur dari jabatannya. Ini adalah gerakan pertama yang menuntut
mundur Suharto sejak Ordebaru berkuasa. Sikap mahasiswa ini dijawab
dengan pendudukan kampus oleh militer, selain para pemimpin mahasiswa ditangkap
dan diadili. Lebih jauh lagi pemerintah membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA)
se-Indonesia.
Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998
Adalah puncak gerakan mahasiswa dan
gerakan rakyat pro-demokrasi pada dekade tahun sembilan puluhan. Gerakan ini
menjadi monumental karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada
tangal 21
Mei 1998. Gerakan
ini mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Namun
para analis asing kerap menyoroti percepatan gerakan pro-demokrasi pasca Kudatuli yang terjadi 27 Juli 1996.
Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang.
Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.
Demonstrasi bertambah gencar
dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa
tuntutan, seperti:
Ø Adili Soeharto dan
kroni-kroninya,
Ø Laksanakan amandemen UUD 1945,
Ø Penghapusan Dwi Fungsi ABRI yakni
pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan
mengatur negara pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua
memegang kekuasaan dan mengatur negara ,
Ø Pelaksanaan otonomi daerah yang
seluas-luasnya,
Ø Tegakkan supremasi hukum,
Ø Ciptakan pemerintahan yang bersih
dari KKN
Gedung wakil rakyat, yaitu Gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di
daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh
elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan
untuk menurunkan Soeharto. Organ mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara
lain adalah FKSMJ dan Forum Kota karena mempelopori pendudukan
gedung DPR/MPR.
Gerakan Mahasiswa
Indonesia 1998 juga
memulai babak baru dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu era Reformasi.
Dan akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 tepatnya Pukul 9.00 WIB, Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden Republik Indonesia. Soeharto
kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan
meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav)
Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto
(kemudian menjadi Kepala Polri).
Jika membaca sejarah gerakan mahasiswa masa orde
baru diatas, maka satu simpulan simplistik bahwa gerakan mereka adalah gerakan
terencana dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Ada masa yang menuntut
gerakan untuk menjadikan jalanan sebagai panggung artikulasi untuk menyampaikan
aspirasinya kepada pemerintah. Juga ada masa ketika gerakan kembali
berkontemplasi di kampus-kampus melalui forum diskusi membentuk jejaring
intelektualitas. Serta disini juga terlihat bahwa mahasiswa beserta seluruh
komponen bangsa, memiliki peran strategis sebagai ujung tombak untuk
menciptakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (menumbuhkan rasa aman), memajukan
kesejahteraan umum (peran sosial) dan mencerdaskan kehidupan bangsa
(peran intelektual).
Peran dan Partisipasi Mahasiswa
Dalam Era Pasca Orde Baru (Era Reformasi)
Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut
sebagai “Era Pasca Orde Baru”. Era Reformasi di Indonesia dimulai pada
pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Sejak orde
reformasi mahasiswa kembali bebas mengekspresikan dirinya sebagai agen kontrol
dan agen perubahan tatanan demokrasi hingga dihasilkan tatanan politik
Indonesia pasca reformasi yang lebih
demokratis yang diakui oleh dunia internasional.. Pemuda secara umum
didefinisikan sebagai mahasiswa atau kaum terpelajar yang memiliki potensi besar dalam proses
perubahan. Mahasiswa adalah sosok yang suka berkreasi, idealis dan
memiliki keberanian serta menjadi inspirator dengan gagasan dan
tuntutannya. Namun, format kehidupan mahasiswa saat ini, sedikit banyak telah
terpengaruh oleh sistem kehidupan yang berlaku sekarang, yaitu sistem demokrasi kapitalis.
Indonesia
sebagai Negara demokrasi masih dianggap gagal karena terlalu prosedural dan pengaruh uang masih sangat
kuat di dalam kultur politik. Sehingga berpolitik dianggap sebagai tempat
untuk mencari uang. Bila memperhatikan apa yang terjadi di kampus-kampus
di negeri ini, citra dan cita-cita mereka juga relatif berbeda sesuai dengan
landasan pemikiran yang mendasarinya. Melihat
perkembangan saat ini adalah banyak dari mereka (mahasiswa) yang cuek terhadap kondisi kehidupan
masyarakat, banyak dianatara mereka yang tidak peduli dengan penderitaan
dan kesengsaraan masyarakat. Mereka hanya peduli dengan kepentingannya
masing-masing.
Kondisi
seperti diatas hanya akan melahirkan sistem individualis yang semakin tajam.
Setiap manusia termasuk mahasiswa- lalu berpikir pintas untuk menyelamatkan diri, dan akhirnya tidak peduli
dengan keadaan lingkungan. Standar perbuatan mereka adalah manfaat. Bagi
mereka, yang penting bermanfaat bagi dirinya
dan tidak merugikan orang lain. Bagi mereka pacaran tidak menjadi masalah, asal
tidak hamil dan tidak menimbulkan masalah. Kelompok ini memang benar-benar
ingin menikmati dan hidup tenteram dalam kondisi sekarang. Mereka tidak peduli
kenikmatan hidupnya itu diraih di atas penderitaan orang lain.
Krisis Mahasiswa Indonesia
Peran Mahasiswa Indonesia sekarang
ini sedang dalam taraf yang bisa dibilang
cukup membingungkan, penuh dengan pertanyaan serta keragu-raguan. Jika membaca sejarah gerakan
mahasiswa masa lalu, maka satu simpulan simplistik bahwa gerakan mereka adalah
gerakan terencana dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Ada masa yang
menuntut gerakan untuk menjadikan jalanan sebagai panggung artikulasi untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Juga ada masa ketika gerakan
kembali berkontemplasi di kampus-kampus melalui forum diskusi membentuk
jejaring intelektualitas.
Mahasiswa adalah salah satu katalisator bagi perubahan bangsa.
Berdiam diri tentunya bukanlah pilihan. Sayangnya dalam proses mencari bentuk
setelah Reformasi 1998, mahasiswa pada akhirnya terhimpit pada dua masalah
kecil yang dibesar-besarkan, pada dirinya sendiri, yaitu apatisme dan banalitas
aksi. Apatisme disini berarti keadaan
cuek atau acuh tak acuh; di mana mahasisawa tidak tanggap terhadap aspek
emosional, sosial, atau kehidupan masyarakat, sedangkan banalitas aksi disini
merupakan keadaan dimana pergerakan mahasiswa dianggap lemah, tidak memberikan
dampak yang kompleks . Pernyataan diatas rasanya sudah dapat
mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi apatis mahasiswa Indonesia saat
ini. Sistem pendidikan di kampus-kampus dialam
demokrasi lebih berorientasi pada kepentingan pasar dan mengutamakan transaksi
ilmu pengetahuan (teks) semata serta mengabaikan transaksi nilai
(yang politik). Gaya semacam ini membuat kondisi apatis menjadi semakin
sahih. Semestinya kampus harus direbut
kembali untuk terus di isi, diuji dan dimaknai dalam nilai-nilai dan semangat
baru. Jika kampus tak juga beranjak berubah, jangan berani berharap Angkatan ’66 masa sekarang dapat lahir dari kampus
semacam itu. Bertolak dari apatisme mahasiswa tadi, dapat kita temui
juga kelompok mahasiswa yang tetap mencurahkan perhatianya pada kondisi
bangsa. Namun banyak dari aksi yang
mereka lakukan akhirnya terjebak pada banalitas. Mereka lebih bersifat
reaktif daripada responsif. Lebih banyak bersifat massa yang marah
dari pada mahasiswa yang sadar. Lalu terjerumus pada heroisme-heroisme
dangkal yang meniadakan pemahaman mendalam. Dalam demokrasi kita dituntut
untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan akan bentuk perjuangan yang lebih kreatif,
berimajinasi dan tidak monoton apalagi mengutamakan kekerasan.
Suatu bentuk yang lebih apresiatif bagi masyarakat sekarang walau tidak
pula berarti menurunkan bobot spririt dan daya dobraknya.
Melihat kondisi mahasiswa yang
dulunya berperan penting dalam pergerakan reformasi.
Kita dapat melihat dua hal yang menjadi kelemahan Mahasiswa. Pertama,
aksi reformasi mahasiswa yang turun kejalan ialah bentuk dari
reakreasi politik atau trend demokrasi
atas ketidak puasaan pemerintah kepada rakyatnya,dan tidak jarang sikap anarkis
seolah-olah merupakan bentuk dari komunikasi demontrasi yang gagal. Kedua,
mahasiswa terpisah dari potensi kekuatan rakyat,dan inilah yang merupakan yang paling pokok yang di lupakan oleh
mahasiswa.Untuk memulai suatu pergerakan, tentunya Mahasiswa harus
membentuk golongan mahasiswa yang
benar-benar mengerti tentang peran mahasiswa dalam membangun Pemerintah yang
demokratis. Kemudian memahami aspek-aspek penting dalam berinteraksi sosial dalam masyarakat dalam sudut
padang ekonomi menyeluruh. Yang kemudian mencari nilai-nilai sejauh mana
pemerintahmemberikan pelayanan terhadap rakyatnya. Serta mengkrucutkan ragam
bentuk keinginan suara hati rakyat suatu bangsa yang dalam bentuk satu
misi dan visi memperjuangkan rakyat dalam kaitan membangun pemerintah yang
demokratis perubahan bagi bangsa dan rakyat secara menyeluruh. Oleh
karena itu mahasiswa harus menyusun kekuatan dan memperbanyak silaturhami antar
organisasi sesama Universitas baik negeri
dan swsta di tanah air ini. Kekalahan mahasiswa dan raktyat adalah kuranganya organisasi yang tangguh, padahal
yang di hadapi ialah kekuatan luar biasa teroganisir. Dengan demikian terbentuknya kekuatan dari
mahasiswa yang mampu menyuarakan suara rakyat akan mampu memberikan peran mahasiswa sendiri dalam membangun pemerintahan
yang benar-benar adil terhadap rakyatnya secara menyeluruh.
Dari sini kita bisa mengatakan bahwa masih banyak sekali peran mahasiswa yang bisa dipenuhi daripada sekedar terjebak pada
apatisme dan banalitas. Masalah pendidikan politik kepada warga negara yang
lain sebenarnya bukan murni tugas dari partai politik, pemerintah maupun media
saja. Mahasiswa harus berperan serta dalam pendidikan tersebut. Dalam
perjuangan nilai yang diembannya, mahasiswa tidak bisa hanya terpaku pada satu
cara saja. Keluwesan-keluwesan berupa ktreatifitas, imajinasi serta melihat
lebih dalam akan kondisi masyarakat pun
diperlukan di sini. Selain itu, mahasiswa pun diharapkan bisa mendorong
perjuangan baik di tingkat komunal maupun inter-komunal. Jadi tidak hanya
menyatukan banyak organisasi dalam satu komando, melainkan malah mendorong agar
lebih banyak terbentuk alat-alat perjuangan yanglebih sesuai dengan kondisi sosio-kultural masing-masing elemen sosial.
Dan yang terakhir melalui jalan dialog, suatu strategi untukmengupayakan
menggagas suatu platform bersama, suatu cita-cita bersama untuk menyatukan gagasan dan perjuangan dari berbagai macam elemen
kekuatan sosial yang ada.
Terimakasih sangat membantu :)
BalasHapusmksh
BalasHapusthx
BalasHapussangat bermanfaat☺️
BalasHapuskeren bangetttt sumpah pemikirannya, aku yang sebagai calon mahasiswa masih ngerasa individualis banget
BalasHapusTerima kasih banyak kakkkk. Sangat membantu 😊😊
BalasHapusOghey
BalasHapus