Sumber : Sindo News
GEDUNG itu terdiri atas dua lantai. Mirip bangunan sekolah, tetapi tanpa plang nama. Berada di sebuah pemukiman padat penduduk, tepatnya di Bekasi, Jawa Barat.
Luas bangunan hanya 90 meter, dindingnya sudah ditembok, meski agak kusam tapi isinya tertata rapih, ubin putih menjadikan ruang terlihat luas. Ada bangku, meja tulis dan satu buah papan tulis berukuran sedang.
Bangunan layaknya tempat tinggal itu adalah ruang keluarga yang disulap menjadi tempat kegiatan belajar mengajar siswa Sekolah Rakyat Bekasi (SRB). Pemilik rumah itu merupakan staf pengajar SRB.
Di ruangan itulah, para siswa memulai impiannya. Meski dengan fasilitas yang minim, tapi tidak menyurutkan langkah siswa SRB untuk terus mengukir prestasi.
Bahkan dengan harapan dan keyakinan yang begitu besar, para siswa kelas VII Sekolah Rakyat Bekasi (SRB) ini punya mimpi besar kelak besar nanti.
Mereka percaya, setiap manusia yang terlahir di dunia pasti menginginkan impian dan tak ada satu pun manusia yang bercita-cita menjadi tukang catut, calo atau pengemis.
“Pasti menginginkan dirinya menjadi lebih baik,” kata Eko Hadi, pengurus yang menjabat sebagai bendahara SRB saat berbincang-bincang dengan okezone.
Sekolah yang peruntukan bagi kalangan yang tidak mampu ini merupakan sekolah terbuka yang didirikan pada tahun 2002, buah komitmen Ir Yanuar, Ir Samidi, H Widodo, H Muhammad Nuh dan Erlangga Masdiana.
Hanya saja, yang namanya sekolah terbuka, kondisinya pasti memprihatinkan. Mulai dari tempat kegiatan belajar mengajarnya yang berada di beberapa titik, kalau tidak di rumah bisa juga di masjid. Bukan di gedung sekolah seperti layaknya siswa didik di sekolah.
Fasilitas lainnya juga sangat terbatas. Karena itu, untuk mendapatkan itu semua, pengurus banyak mengharap datang dari BOS, baik beasiswa, seragam sekolah, pembelian buku LKS. Tapi tidak sedikit juga yang dibantu lembaga zakat PKPU. Karena, diakui Eko sebuah sekolah tidak berjalan efektif bila tidak ada dana yang menunjang.
Bahkan, Ludi koordinator SRB yang sekaligus pengajar sains mengungangkapkan dalam mengajar, dia sering kekurangan alat-alat yang berkaitan mengenai perlajaran sains seperti alat peraga, mikroskop.
"Saya dalam mengajar sains tidak ada kesulitan yang berarti, namun kesulitannya ada dalam fasilitas pendukung, seperti alat peraga, miskroskop, selama ini saya hanya meraba-raba saja" ujar Ludi kepada okezone.
Mimpi Anita
Padahal, menurut Ludi, tidak sedikit anak didiknya kemampuannya tidak kalah cerdas dari anak-anak sekolah unggulan lainnya. Anita, 14 tahun, misalnya, anak tukang cuci pakaian ini memiliki prestasi tersendiri di sekolah rakyat itu.
Gadis dari keluarga pas-pasan itu, sebelum mengenyam pendidikan ini, nyaris dulunya tidak dapat menlanjutkan sekolah SMP.
Kini meski sudah bersekolah, dia tetap bisa membantu orang tuanya. Sebelum berangkat, dia menyempatkan dirinya untuk membantu neneknya menjaga warung. Dia juga bekerja sebagai pencuci dan penggosok pakaian, penghasilannya Rp300 ribu/bulan.
Dari keluarga yang pas-pasan tak menyulutkan langkah Anita dalam memperoleh prestasi, bahkan dia berhasil menjadi juara 2 lomba maraton antar sekolah. Dari segi akademik, anak ini termasuk yang menonjol dibanding siswa lainnya.
Tekatnya memperbaiki ekonomi keluarga jadi tantangan sendiri bagi Anita untuk tetap sekolah. "Motivasi aku sekolah disini adalah untuk membahagiakan orangtuaku, tidak perlu malu, gengsi apalagi malas untuk bisa lebih maju," ujar Anita polos.
Makanya, ketika Anita mendapat tawaran sekolah di SRB itu, tanpa berfikir panjang dia langsung bergegas dan orangtua juga mendukung.
Namun, nasib baik yang dialami Anita tidak serta merta diikuti anak-anak jalanan lainnya. Banyak dari masyarakat kurang mampu di wilayah Bekasi, yang orangtuanya memilih tidak menyekolahkan anaknya, tapi mempekerjakan mereka di jalanan.
Sehingga, perlu upaya ekstra keras dari SRB untuk bisa mengajak para orangtua agar mau menyekolahkan anaknya tanpa dipungut biaya sepeser pun.
SR Ancol
Kenyataan lain tidak jauh berbeda di Utara Kota Jakarta, juga terdapat sekolah rakyat. Cikal bakalnya berangkat dari Sekolah Rakyat Indonesia (kini Sekolah Rakyat Bekasi) bekerjasama menatap Ibu Kota yang marak anak-anak kurang beruntung yang putus sekolah.
SMP terbuka Sekolah Rakyat Ancol (SRA) ini, menyediakan tempat bagi mereka yang kurang beruntung untuk bisa mengenyam pendidikan.
Rika Lestari, Community Development Manager, PT Pembangunan Jaya Ancol menegaskan, SRA merupakan bentuk kepedulian Ancol terhadap pendidikan anak-anak kurang mampu di sekitar kawasan Ancol.
Miris memang, dibalik kemewahan hidup di ibu kota, masih banyak masyarakat prasejahtera yang anak-anaknya tidak mampu melanjutkan pendidikan. Para orang tua mereka hidup miskin, tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Kenyataan yang terjadi anak-anak justru disibukkan dengan bekerja di saat jam belajar.
Ditengah himpitan ekonomi yang serba sulit, keadaan rumah padat penduduk, kumuh dan bising, serta lingkungan anak-anak yang kurang mampu untuk bisa belajar dengan nyaman.
Menyadari itu, demi menghantar anak-anak ke gerbang pendidikan lebih baik, pada 2004 Ancol meluncurkan program SRA, dengan harapan bisa membantu anak-anak kurang mampu juga dalam rangka membantu program pemerintah.
Keberadaan SRA ini, berhasil memberikan secercah harapan kepada anak-anak untuk mengembangkan daya pikir dan kreasi. Diharapkan dari tangan-tangan anak-anak inilah, kelak nanti tercipta perbaikan ekonomi keluarga mereka masing-masing.
Sekolah Rakyat Ancol ini setara dengan pendidikan menengah pertama atau SMP terbuka. Lulusannya akan mendapat ijazah negeri.
Kesulitan
Setiap tahunnya, ada 28 siswa didik kurang mampu yang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Tapi, tidak sedikit juga yang berguguran lantaran faktor dukungan keluarga.
“Seleksi alam setiap tahunnya terjadi, paling-paling yang berhasil sampai tamat atau yang bertahan hanya meluluskan 14 siswa saja,” jelas Rika.
Memang, kata Rika tidak mudah mengajak para siswa didik kurang mampu ini untuk disekolahkan, meski tanpa biaya alias gratis. Apa sebabnya, faktor lingkungan yang utama, kata Rika.
Banyak dari keluarga siswa didik yang tidak mendukung karena orangtua berfikir anak-anak harus bekerja membantu mencari nafkah. Padahal, mereka tahu, semua full dibiayai, mulai seraham sekolah, buku-buku hingga pemberian uang transport.
“Tapi, masih ada saja yang tidak mau, meski sudah dipermudah, pagi mereka bekerja, siang pukul 13.00 Wib hingga 17.00 Wib mereka sekolah,” tuturnya.
Sebuah pemikiran kuno memang, tetapi itulah yang terjadi di zaman sekarang ini. Meski begitu, SRA tidak menginginkan sekolah rakyat ini sebagai pelarian bagi mereka yang gagal diterima di negeri.
Tetapi semakin kesini, karena SRA selalu evaluasi dari tahun ke tahun dan setiap perekrutan itu ada semacam surat perjanjian, bahwa orangtua mendukung anaknya sekolah dan tidak boleh keluar. "Jika mangkir putus ditengah jalan, ada kompensasi yang harus mereka bayar. Ini sebagai bentuk komitmen mereka,"
Selain itu, guna menghidari keluar masuk siswa tanpa alasan, SRA dalam menjaring siswa yang tidak mampu, tidak akan obral, SRA tetap melalui seleksi ketat. Pendaftaran sama dengan SMP negeri. Jumlahnya dibatasi hanya 25 siswa per angkatan.
Saat ini, ada dua SRA, di Pademangan Barat dan Ancol Barat, dengan total 129 siswa, yang dibantu 19 tenaga pengajar/guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar