Halaman

Prayer Times : Jadwal Sholat

Sabtu, 12 Mei 2012

Paradigma Politik Alternatif Menyongsong Sukses Pemilu 2014


Sumber : Okezone.com



Panggung perpolitikan merupakan panggung paling mempesona untuk dinikmati. Jelang pilpres 2014 nanti skenario perpolitikan itu sudah mulai diramu guna memantik simpati rakyat. Berbagai momen penting perjalanan pemerintahan nasional menjadi media paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan politis dari masing-masing partai yang akan melaju sebagai kompetitor pemilu nanti. Walau waktu pemilu tersebut masih terbilang cukup lama, namun aroma rivalitas antarpartai politik itu makin terasa menyengat. 

Sepertinya masing-masing partai tidak mau kalah start dalam menyongsong even paling spektakuler itu. Bahkan, sebagian partai besar sudah menunjuk beberapa kadernya yang dianggap layak untuk maju sebagai kandidat capres pada pilpres 2014 nanti. Berbagai macam kemungkinan pun mulai dihitung-hitung, sembari terus mencari resep paling mujarab untuk mengantongi suara rakyat. Mungkin demikianlah gambaran umum kondisi parpol saat ini dalam kancah agenda perpolitikan nasional.
Bila diamati secara umum, agenda panggung perpolitikan di atas tentu merupakan kondisi yang terbilang wajar. Namun demikian, tidak sedikit partai-partai tertentu sering kali melakukan skenario politiknya dengan mengorbankan nilai-nilai kewajaran (etis dan moralitas), sehingga tidak jarang ditemukan agenda-agenda partai yang ditanggung oleh finansial milik Negara. Skenario ini biasanya sering diperankan oleh partai pemangku kekuasaan alias partai pemenang pemilu yang telah lewat. Drama tersebut misalnya, bisa ditemukan pada agenda-agenda pemerintah, kemudian diselipkan di dalamnya pesan-pesan politis oleh partai yang bersangkutan. Bantuan-bantuan kesejahteraan yang diperuntukkan masyarakat miskin kerap kali menjadi media jitu pemantik simpati hati rakyat.
 
Fakta di atas walau mungkin terlihat wajar, namun secara etis melabelkan nama partai di balik agenda pemerintah merupakan pembelajaran politik yang kurang baik terhadap rakyat. Karena walau bagaimanapun, agenda pemerintah yang dijalankan partai pemangku kekuasaan merupakan bagian dari kesepakatan bersama para wakil rakyat dari seluruh partai,  kemudian pada tahap berikutnya diamanahkan ke badan eksekutif. Maka, menjadi keliru ketika agenda pemerintah itu hanya diakui dan dilebeli sebagai produk kebijakan oleh partai tertentu saja.

Kejujuran dan sportivitas menjadi segmen paling dianjurkan dalam setiap skenario politik yang dijalankan oleh setiap partai. Skenario politik yang ditunjukkan di atas tentu masih terkesan menciderai partai-partai yang lain, sehingga disitu akan memunculkan persaingan yang negatif. Pada akhirnya, hal tersebut juga akan memunculkan stigma miring terhadap ranah perpolitikan secara umum. Sebagai bentuk riil dari stigma miring itu adalah, politik terkesan sebagai lembah hitam yang didalamnya terdapat banyak keculasan dan kebohongan.
 
Secara implisit, persaingan tidak sehat di atas tersebut juga akan melahirkan masyarakat yang pasif terhadap sejumlah agenda pemerintah. Bentuk kepasifan tersebut jika boleh diterjemahkan pada bentuk yang lebih sederhana adalah, minimnya kesadaran apresiatif masyarakat terhadap sejumlah bantuan kesejahteraan, karena mereka memahami, bahwa bantuan tersebut merupakan bagian dari proses timbal balik dalam rangka mengantongi suara mereka nanti dalam pemilu.

Tumpang tindih yang tidak jelas antara agenda pemerintah dan agenda partai yang dijalankan oleh partai penguasa tidak hanya berdampak rugi pada partai-partai yang lain, akan tetapi justru merugikan partai penguasa itu sendiri. Dampak buruk itu begitu sangat kentara ketika dihadapakan pada efektifitas dan statistik  agenda pemerintah yang terkesan mandul. Kemandulan tersebut tentu merupakan bagian dari akibat pembelajaran politik yang tidak sehat, yang sengaja dilakukan sendiri oleh partai penguasa terkait.

Perjalanan bangsa ini sungguh berada pada lintasan semu agenda politik partai yang tidak cerdas. Ukuran kemenangan hanya dikategorikan dengan menumpuknya suara pemilih yang berjibun, sementara dukungan dan kepercayan rakyat yang sejati tidak pernah didapatkan. Akibatnya, penterjemahan kebijakan pemerintah dalam bentuk nyata tidak menemukan dukungan dari rakyat. Sementara ketertinggalan bangsa ini tidak kunjung bangkit, bahkan bisa dibilang semakin akut saja.

Partai pemenang pun terlihat kelabakan menghadapi fenomena ini, sehingga kemudian berjalanlah sistem perpolitikan yang menganut sistem koalisi dan oposisi di antara partai-partai politik yang ada. Sistem perpolitikan ini awalnya dianggap cukup mapan untuk menghadapi fenomena minornya kepercayaan dan apresiasi rakyat tersebut. Padahal senyatanya, sistem koalisi dan oposisi tersebut malah semakin menambah tidak jelasnya arah kebijakan pemerintah. Kasus rencana kenaikan BBM kemarin, membuktikan bahwa sistem oposisi dan koalisi tersebut hanya menambah beban politik saja pada partai pemenang terkait. Di dalamnya terdapat banyak intrik politik yang senyatanya merupakan manifestasi kerapuhan dari sebuah kekuasaan yang hanya didapat dari akumulasi suara saja, tanpa diiringi kepercayaan rakyat yang sesungguhnya.

Politik timbal balik dengan menggunakan resep aji mumpung oleh partai penguasa dalam bentuk pemberian kepuasan materi secara instan hanya akan memberikan kesan negatif, bahwa partai hanya butuh suara untuk kekuasaan semata. Dampak buruk yang lain adalah, melahirkan efek domino berkelanjutan dan berkepanjangan, yang senyatanya efek-efek tersebut akan ditanggung oleh partai yang berkaitan itu sendiri. Salah satu rentetan efek domino yang sering kali dirasa cukup kentara adalah, kebijakan-kebijakan pemerintah terkesan cukup lamban. Hal tersebut diakibatkan adanya kerapuhan dalam tubuh partai yang bersangkutan, di mana partai tersebut harus melakukan sinkronisasi lebih dulu dengan partai koalisi, sebelum akhirnya mengambil sebuah keputusan. Kondisi ini sering kali ditutup-tutupi dengan beralibi bahwa suatu kebijakan penting harus berproses lama, padahal senyatanya karena faktor kerapuhan yang ada dalam tubuh partai penguasa itu sendiri.

Bila boleh dibahasakan dalam bentuk bahasa yang sederhana, politik timbal balik transaksional yang mengandalkan umpan materi tidak bisa memberikan power politik apa-apa pada partai terkait yang memilih sistem ini. Walau bisa meraup perolehan suara yang cukup banyak, tetapi pada kenyataannya suara-suara rakyat itu hanya fatamorgana belaka. Dukungan dan suara akan berdentang keras jika umpan materi itu terus dialirkan. Mungkin dalam kurun waktu yang singkat kendala-kendala tersebut belum begitu terasa, tapi menginjak episode kedua dari perjalanan partai penguasa bertengger di posisi puncak, kendala tersebut mulai semakin terasa.
 
Adapun bentuk nyata dari kendala yang cukup kentara adalah, munculnya sejumlah anomali ke permukaan. Sebagai contoh dari salah satu anomali yang bisa ditemukan adalah, pemungutan uang Negara untuk kepentingan partai kerap kali dicairkan atas nama suatu proyek tertentu. Walau hal ini belum bisa dibuktikan secara hukum, namun publikpun mulai menyimpan kecurigaannya. Sejumlah kadernya di perlemen satu-persatu juga mulai digiring ke meja hijau, karena diduga melakukan tindak suap ataupun korupsi. Tindakan amoral tersebut konon disebabkan karena kader terkait ingin mengembalikan modal politiknya yang dulu dikucurkan untuk mendulang suara. Sungguh kondisi ini juga merupakan efek domino yang tak bisa dielakkan lagi dari sebuah sistem politik yang bertumpu pada kekuatan materi.

Berdasar dari rentetan uraian di atas, dapat dipahami bahwa paradigma politik ke depan harus dirubah pada paradigma yang lebih ideal. Setidaknya dalam pandangan yang sederhana, hendaknya setiap partai tidak boleh berlebihan menggulirkan seluruh proses agenda politiknya dari materi. Disitu partai lebih dituntut bagaimana bisa menjalankan agenda politiknya dengan etis (tidak meninggalkan nilai-nilai kepantasan), sembari memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat luas. Dalam hal ini, uang bukanlah sebagai alat satu-satunya, tetapi ditempatkan sebagai salah satu penunjang saja. Adapun yang lebih prinsip pada model pradigma alternatif ini adalah, setiap partai harus melakukan pendekatan komunikasi logis dengan masyarakat, terkait dengan sejumlah cita-cita partai untuk membangun bangsa ini. 

Mungkin banyak orang yang mencibir pola paradigma yang diajukan di atas, tetapi jika bangsa ini memang menginginkan suatu perubahan positif di tubuh negeri ini, maka paradigma alternatif politik di atas layak untuk dilihat kembali. Mungkin dari sisi perolehan suara bagi partai yang berani memilih tantangan ini akan berakibat pahit, tetapi sesungguhnya partai yang berani mengambil tantangan tersebut sudah memulai dari suatu perubahan yang besar tadi. Namun ketika banyak partai masih bersikukuh dengan paradigma lama, maka sesungguhnya itu merupakan bagian dari langkah untuk sebuah kehancuran.

Sebagai kelanjutan dari paradigma alternatif di atas, setiap partai juga harus merubah paradigma lainnya, yaitu menjadikan pemilu sebagai momen untuk mendulang ketulusan dan dukungan rakyat, bukan hanya sekadar mendulang suara untuk kekuasaan belaka. Kedua paradigma alternatif di atas, yaitu yang pertama, berupa perubahan dari paradigma transaksioanal-materealistis menjadi komunikasi etis-logis, kemudian yang kedua, dari paradigma pendulangan suara kuantitatif-formal menjadi kulitatif-trust (dukungan dan kepercayan yang berkualitas). Kedua paradigma politik alternatif di atas adalah suatu bentuk alternatif konkret untuk suatu perubahan positif di negeri ini. Sederhana, tapi mungkin sulit diterima, sekaligus cukup menantang bukan?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar